M A T A H A T I

Sunday, March 12, 2006

Menghadap Allah, Lepas dan Tenangkan. Biarkan Jiwa Melayang bersama Shalat


''Tenang. Lepaskan pikiran anda. Angkat tangan pelan-pelan, posisi doa. Tengadahkan kepala. Terus. Rasakan bahwa roh anda akan tercerabut dari jasad anda, menuju lillahi ta'ala.''

Semenjak kecil, anak-anak muslim akan menerima pelajaran soal shalat. Entah dari orangtua, guru ngaji atau pendidikan agama di sekolah. Namun pernahkah terpikirkan bahwa shalat yang diajarkan itu adalah sarana relaksasi dan meditasi yang bisa menenangkan jiwa.
Paparan teoritis tentang hal ini bagi sebagian orang bukan hal asing lagi. Pasalnya dasar-dasar nash tak jarang diperdengarkan atau juga sudah termaktub di buku-buku. Inna shalata tanha 'anil fahsyai wa munkar, sesungguhnya shalat mencegah dari kerusakan dan kemungkaran. Ironisnya, keyakinan ini ternyata tak semua orang mampu untuk menunaikannya.
Oleh karenanya kala Abu Sangkan, penulis buku Pelatihan Shalat Khusyuk, Shalat sebagai Meditasi Tertinggi dalam Islam bekerjasama dengan Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (Lembkota) menggelar praktek pelatihan di Hotel Grasia Sabtu-Minggu (11-12/3), maka tak kurang dari 150 orang antusias mengikutinya.
Meski ibadah shalat sudah tak asing bagi peserta, nyatanya mereka penasaran atau mungkin juga khawatir terhadap kewajiban lima waktu yang mereka jalankan selama ini.

(Asal tahu aja, untuk mengikuti kegiatan ini calon peserta dipungut biaya ratusan ribu. Bahkan seorang panitia mengatakan untuk mendapatkan tiket yang terbatas itu panitia menyarankan untuk inden terlebih dahulu bila tiket sudah habis. Zaman modern seperti sekarang ini, memang menunjukkan gejala banyak orang bingung, cemas, dan panik. Ternyata sebagian orang-orang kaya mencoba melawannya dengan mengikuti aneka kegiatan amalan ibadah yang ''bertarif'' dan tentunya dilaksanakan di hotel yang berpendingin ruangan. Mereka merasa enjoy. Tapi soal hati mereka siapa yang tahu)

Abu mengatakan, ''Penyebab sulit mendapatkan khusyuk dalam shalat di antaranya amalan ini serasa belum menjadi kebutuhan.''
Berpenampilan rapi, berjas dan berdasi, Abu sesekali menggunakan Bahasa Jawa dengan logat Jawa Timur yang kental. Ia menyentil cara beribadah kita selama ini. Ia mengatakan seringkali shalat dinilai sebagai sesuatu yang membebani atau bahkan tak membekas apapun dalam jiwa. Lantaran shalat hanya dipahami sekadar rutinitas yang harus dipenuhi.
''Ketidakbisaan untuk memusatkan pikiran adalah kendala yang selalu memagari jiwa untuk bertemu dengan Allah. Lepaskan segala pikiran duniawi saat kita akan memulai niat shalat,'' ajak Abu yang kemudian diikuti oleh segenap peserta.
Melepas pikiran duniawi dan kemudian konsentrasi penuh merupakan modal inti untuk melaksanakan shalat khusyuk. Pertanyaan yang berhamburan muncul dari pernyataan ini pasti bermuara pada bagaimana cara untuk mendapatkan pikiran lepas dan rileks.
Abu menguraikannya pada fenomena orang tersenyum. Orang yang tersenyum secara alami akan jelas berbeda dengan senyum yang dipaksakan. Perbedaan bisa dilihat dari raut mukanya atau juga tindakan yang dilakukan selanjutnya.
''Senyum yang dipaksakan bisa terlihat dari otot-otot sekitar mata yang mengkerut lalu raut wajahnya kembali masam secara cepat. Begitupula dengan shalat khusyuk. Mereka yang melakukannya akan menjadikan shalat sebagai sarana meditasi, terapi, berdoa, dan juga menemukan sebuah ketenangan,'' terangnya.
Orang pasti berpikir untuk mendapatkan semua hal itu tentunya membutuhkan banyak waktu dan harus mencari tempat hening. Lantas mungkinkah orang sibuk bisa melakukan shalat khusyu? Kekhawatiran ini dijawab Abu dengan mengutarakan bahwa godaan terhadap orang melaksanakan shalat tak pandang bulu. Godaan hawa nafsu bisa menjangkiti siapa saja, termasuk mereka yang disebut ustad. Dengan demikian shalat khusyuk ini bisa dijalankan oleh siapa saja.
Bicara Abu pelan dan sesekali disisipi candaan. Ada saatnya pula ia bicara keras menyemangati pikiran peserta.
Lalu ia pun mengajak, ''Rileks, pasrah, lepaskan, sambungkan, bangkitkan kesadaran diri, muncul getaran rasa. Getaran jiwa akan menuntun gerakan shalat. Bergerak pelan-pelan, tumakninah. Dan tenang. Allahu Akbar. Lepaskan ruh anda sehingga terarah kepada yang Maha Besar.''

Sunday, March 05, 2006

1
[kulihat engkau
kulihat engkau
tapi tak pernah ada]

''lara,''
usir sepi dari waktu yang tak berarti. jarum
detik menghujam mengingatkan mentari
yang kutatap masih begitu lagi seperti kemarin.
tapi mata ini sepertinya harus dipaksa. tapi kali ini
kulihat engkau dengan kepala merunduk
seperti tak kuat menahan beban
isi kepala: duitmu, pacarmu, rotimu, celanamu,
kalengmu, klosetmu, jeritanmu
dan ohh.. ayat-ayat itu

membisikkan kata membosankan.
dan aku benci dering hape.

berlari mengejar air sungai deras.
tak mau hanyut tenggelam.
dalam benakmu. kuhapus sendiri garis sungai itu
dari peta surgamu.

tak kan kembali lagikah waktu?
aku pergi saja.

2
pak pos menghampiriku dengan kiriman kata ''maaf'',
sebuah kiriman yang aku tak inginkan.
ia tak bersiul atau tersenyum.

sebuah meja telah disiapkan lengkap dengan dua bangku
kayu jati. kamu dan aku membayangkan sebuah kuda terbang
membawa kita dalam dunia khayal.
[tapi kamu bilang cita-cita, seperti kanak-kanak yang ditanya
ibu gurunya. setelah besar kalian ingin jadi apa?]

ah... kita terjerembab.
kalau dipikir ini ejekan,
''maaf anda tidak beruntung!''
atau memang kita adalah
tempatnya malang.

''senyum dong ihhh,'' katamu.

3
malaikat datang dan pergi. menjuntai selendangnya
dari langit hingga ke bumi. kabar berita malam
kemarin sudah ditunggu. ayo perdengarkan
pada kami.

volume radio pun keras-keras memanggil
ah.. iklan lagi dengan gaya dangdut
matikan saja. ganti remote televisi tapi
ternyata otak kamu
lebih cepat berpikir tentang gaya hidup
dan belanja apa hari ini

[di seberang kamu menangis]

malaikat datang dan pergi. menjuntai selendangnya
dari langit hingga bumi
mengiringi angin ini
mencatat hati yang hanya dengki.


4
hei.... ada apa
ayo bangun....