M A T A H A T I

Friday, November 10, 2006

Bakda Kupat: Dengan Kupat Mengaku Lepat

Konon tradisi menyediakan makanan terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda dan dianyam sedemikian rupa membentuk persegi belah ketupat itu, diperkirakan masuk ke tanah Jawa ketika agama Islam diterima masyarakat. Sunan Kalijaga adalah orang kali pertama yang memperkenalkan tradisi tersebut. Beliaulah yang membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran yang jatuh bertepatan 1 Syawal dan Bakda Kupat yang berlangsung satu minggu setelah Lebaran.

Budayawan Djawahir Muhammad mengungkapkan, tradisi Bakda Kupat yang menggunakan ketupat sebenarnya merupakan simbol bahwa seseorang yang membawa ketupat itu, manusia yang mengaku lepat (keliru-Red).

Anyaman ketupat yang rumit dan selang-seling itu merupakan pencerminan berbagai macam kesalahan manusia. Warna putih ketika ketupat dibelah menjadi dua mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan.

Selain itu, juga mencerminkan kesempurnaan apabila dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu dihubungkan dengan kemenangan umat muslim setelah sebulan berpuasa dan akhirnya menginjak hari yang fitri. Dengan demikian, secara eksplisit ketupat merupakan simbolisasi permintaan maaf dan silaturahmi. ''Secara visual, pengakuan lepat ditunjukkan dengan mengantar makanan dan masakan ke kerabat yang lebih tua atau tetangga,'' katanya.

Sebagai variasi penyajian makanan nasi yang terbungkus daun kelapa itu, masyarakat umumnya melengkapi dengan lontong, opor ayam, dan sambal goreng hati. Padahal, ujar Djawahir, zaman dahulu makan ketupat ditemani dengan sayur lodeh. Penggunaan sayur tersebut sebagai simbol bahwa setelah berpesta makan enak selama Bakda Lebaran, sudah saatnya masyarakat kembali ke suasana kesederhanaan dengan makan ketupat ditemani sayur lodeh.


Hidupkan Tradisi


Meski berhadapan arus modernisasi, perayaan Bakda Kupat ini masih bisa dijumpai di beberapa tempat di Kota Semarang. Salah satunya, tradisi ini bisa dilihat di beberapa tempat di Kelurahan Kuningan, Semarang Utara. Warga berbagai usia berdatangan ke beberapa mushala dan masjid yang menggelar acara itu, sejak pagi pukul 06.00. Beduk dan kentongan terdengar bertalu-talu memanggil warga untuk segera mengikuti acara yang kini sudah mulai ditinggalkan.

Meski tak dikenal ''Kota Santri'', tradisi perayaan kupatan di Kuningan ini masih cukup ramai. Salah satunya, di Mushala Al-Ikhsan RW 1 kelurahan tersebut. Puluhan warga berdatangan membawa nampan berisikan beragam menu masakan ketupat dan lepet. Acara diisi dengan penyampaian uraian sejarah tradisi kupatan dan membaca tahlil bersama. Dilanjutkan bersalam-salaman untuk memperkuat silaturahmi dan ajang saling memaafkan. ''Tradisi Jawa itu kaya dengan simbol dan sanepa. Antara lain kupat yang berarti mengaku lepat, lontong berarti olo-olo dadi kotong (yang jelek menjadi hilang),'' kata Sochib, takmir Musala Al-Ikhsan ini.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah warga yang mengikuti tradisi ini mulai menyusut. Salah satunya, hari itu sebagian masyarakat sudah mulai berangkat kerja atau sekolah. Dengan demikian, mereka tidak bisa mengikuti acara tersebut.

''Selain itu, kesadaran mengikuti kegiatan di masjid dan mushala juga berkurang,'' katanya.

*) temukan juga tulisan ini di Harian Suara Merdeka, Jumat 11 November 2005