M A T A H A T I

Friday, November 10, 2006

Merindu Ramadhan

Nyadran.
Tradisi yang berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa menjelang datangnya bulan Ramadhan ini tak lekang oleh zaman. Meski modernisasi telah memicu ego menjadi raja, dan pragmatisme menjadi pegangan, tradisi nyadran seolah menjadi keharusan. Tak sedikit, masyarakat rantau pulang ke kampung halaman untuk menunaikannya.
Ya, tradisi berupa ritual pemanjatan doa bagi orang yang sudah meninggal serta melakukan bersih-bersih kubur ini bukan sekadar rutinitas periodik. Andai kita bisa berpikir bijak, maka ada nilai-nilai filosofis yang bisa digali dari tradisi ini: ziarah kubur akan selalu mengingatkan bahwa tidak semua di antara kita bisa menikmati Ramadhan tahun ini.
Oleh karenanya, kita yang masih punya kesempatan usia, masihkah hendak mensia-siakannya.
Lihatlah kisah para sahabat Rasulullah SAW. Dalam rentang masa satu tahun, betapa mereka merindukan 5,5 bulan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Dan 5,5 bulan yang lain dipergunakan untuk berdoa agar mendapatkan keberkahan Ramadhan yang telah berlalu.
Sedemikian besar harapan mereka terhadap Ramadhan, bulan yang dijanjikan penuh dengan rahmat kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
Adakah seseorang yang berharap datangnya Ramadhan sama halnya dengan yang dilakukan para sahabat Rasulullah SAW?
Rasulullah SAW bersabda, "Jika kalian mengetahui apa yang ditakdirkan bagi kalian dalam bulan Ramadhan, kalian akan sangat bersyukur kepada Allah."
Bagai tumbuhan yang hidup di tengah padang pasir, meski disengat terik panas matahari dan diterpa angin panas, namun selalu kuat bertahan. Demikian halnya dengan puasa Ramadhan. Ibadah ini melatih untuk menghadapi kesukaran dan kesusahan yang menerpa.
Begitu banyak alasan mengapa kita merindukan Ramadhan. Pahala yang dilipatgandakan, disebarkannya ampunan. Membukakan pintu-pintu surga serta menutup rapat-rapat pintu neraka. Diberkahinya malam seribu bulan Lailatul Qadar. Mempererat kebersamaan, menguatkan kesabaran, mendorong rasa ikhlas dan bersyukur.
Merindu Ramadhan sama halnya dengan menatap waktu. Hanya dalam masa satu bulan, kita bisa menikmatinya. Selanjutnya, kita harus menunggu waktu sebelas bulan berikutnya untuk bertemu lagi. Padahal sebelas bulan yang lalu kita lalui dengan kemurkaan. Sebelas bulan yang lalu kita terjauh dari rahmat Allah.
Seberapa besar harapan kita terhadap datangnya Ramadan? Mampukah terbersit bagaimana kita bisa menikmati Ramadan? Bila rasa itu tak ada, maka hanya kesia-siaan lapar dan dahaga saja yang didapat.
Ramadhan telah datang, saatnya menata ulang hati kita.
"Andai saja umatku mengetahui kemuliaan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan satu tahun itu penuh dengan Ramadhan". Demikian sabda Rasulullah SAW.