M A T A H A T I

Friday, November 10, 2006

Wisata Religius

Acapkali kita mendengar kosakata wisata religius. Kata religius ini berarti menyandarkan pada segala sesuatu yang bersifat religi, keagamaan. Kata ini cukup populer setelah berlangsungnya perayaan 600 tahun pelayaran Cheng Ho yang dipusatkan di Kelenteng Sam Po Kong Simongan serta keberadaan Masjid Agung Jawa Tengah di Jl Gajah. Kedua tempat itu hingga kini masih dalam tahap proses penyelesaian pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap.
Oleh Pemda Jateng, pelaku wisata, dan tentunya pihak-pihak yang berkepentingan menyatakan tempat tersebut berpotensi besar dalam pengembangan wisata religius.
Jauh-jauh hari, di Jateng keberadaan Candi Borobudur Magelang, Masjid Demak, Masjid Al Aqsha Menara Kudus, serta makam-makam wali. Tempat peziarahan itu sudah ramai dikunjungi berjuta-juta orang hingga kini. Oleh karenanya disebut pula sebagai bagian dari wisata religius.
Menilik kata ”wisata religius”, kadangkala saya tersenyum sendiri. Bagaimana tidak? Kalau ada wisata religius, maka di tempat lain terdapat wisata yang tak religius. Seperti konsep yin dan yang dalam tradisi China, segala sesuatu pasti ada lawannya. Kalau kata ’ukhrawi’ maka akan dihadapkan dengan kata ’duniawi’, begitu pula dengan kata ’agamis’ vs ’sekuler’. Dengan demikian wisata religius berarti lawannya adalah wisata maksiat. Hah! Nauudzubillah min dzalik.
Adakah yang namanya wisata maksiat itu? Saya berpikir wisata jenis ini pasti identik dengan dosa. Padahal seringkali perbuatan dosa itu pasti mengasyikkan dan enak-enak, karenanya Setan tak henti-hentinya menggoda manusia untuk melakukan hal itu. (Jadi ingat lagunya Bang Haji Rhoma nih, ”Mengapa yang enak-enak selalu diharamkan.”
Kalau kita lihat beberapa negara tujuan wisata, tak usah jauh-jauh sekitar ASEAN misalnya. Aset wisata yang dijual ternyata tak melulu wisata alam atau wisata budaya. Namun juga wisata maskiat tadi. Lho kok?
Di Thailand, adegan tarian striptease hingga gerak-gerik orang bersenggama konon bisa dipertunjukkan di muka umum (dengan membayar tarif masuk dan dikhususkan bagi orang dewasa tentunya). Atau Malaysia dan Singapura yang memiliki tempat-tempat kasino, meski tak sebesar Las Vegas. Tak sedikit orang Indonesia yang ”terbang” dengan membawa segepok uang ke negeri itu hanya untuk bertaruh di meja judi. Sebuah kesenangan duniawi yang tak terperi.
Jujur saya memang belum pernah mengunjungi negara-negara itu. Karena kota yang terjauh yang pernah saya kunjungi baru Jakarta dan Bali. Permasalahannya, bagaimana kalau kedua jenis wisata itu di promosikan di Indonesia? Mungkin kita akan bersiap-siap melihat sekompi barisan laskar akan mengusak-asik lokasi wisata maksiat itu, seperti halnya saat mereka menyerbu kantor redaksi majalah Playboy yang baru terbit di Jakarta.
DI tingkatan lokal gagasan lokalisasi judi bahkan seringkali terlontar, namun diimbangi dengan protes-protes masyarakat. Meski sebenarnya di beberapa tempat sajian-sajian wisata jenis ini juga bisa ditemukan, termasuk Semarang. Sesekali keluar malamlah ke kafe saat menggelar party. Tarian perempuan semi telanjang atau telanjang namun di-”blur” dengan aksi body painting bukan barang asing bagi penikmat dugem. Alasan klasik yang kerap dilontarkan oleh pengelola kafe biasanya, penampilan mereka tidak vulgar karena masih mengenakan pakaian dalam alias celana dalam dan BH saja.
Lalu soal kasino yang menggunakan istilah lokal permainan ketangkasan (bedanya apa hayo?) juga sering kita dengar. Meski beberapa kali aparat kepolisian telah menggelar razia di tempat-tempat, nyatanya permainan adu ketangkasan ini masih tetap saja ada yang beroperasi, dengan status ilegal tentunya. Jangan-jangan yang namanya beking aparat itu ada benarnya juga..... wallahu alam.
Kembali ke soal konsep yin dan yang, di mana ada kebaikan maka di situ ada keburukan. Oleh karenanya di mana ada religiositas maka di situ akan ada pula kemaksiatan. Seorang teman pernah melontarkan celetukan, ”Jangan-jangan kosakata wisata religius ini hasil kerjaan orang-orang IAIN.” Alasannya sederhana. Dalam beberapa literatur perkulaihan atau bacaan mahasiswa IAIN, ia menemukan pengkotak-kotakkan kosakata seperti sastra sufi-sastra sekuler, negara Islam-negara sekuler, hingga sinetron islami-sinetron tak islami. Meski saya sadar kebenaran soal ini juga bisa diragukan.
Pengalaman saya mengunjungi tempat-tempat yang disebut sebagai wisata religius, memang terlihat antusiasme turis yang tinggi. Lihat misalnya Candi Borobudur yang merupakan situs agama Budha, namun bukan berarti yang melancong ke obyek itu adalah dari kalangan agama Budha. Hal serupa juga terlihat pada Kelenteng Sam Po Kong yang masih dipergunakan sebagai tempat peribadatan Tri Dharma serta masyarakat Kejawen. Orang-orang yang bersembahnyang di altar merupakan tontonan yang menarik bagi pengunjung. Oleh karenanya mereka pun tak segan-segan mengabadikan momen itu sebagai ”pertunjukan” yang memikat.
Minat untuk memotret juga bisa dilihat pada Gereja Blenduk di Kawasan Kota Lama. Yang membedakan disini, orang memotret tak hanya pada keunikan desain bangunan tapi juga menjadikan gereja itu sebagai background foto pre-wedding.
Lalu bagaimana dengan Masjid Agung Jawa Tengah? Apakah hanya demikian juga, datang ke sana untuk mengagumi kemegahan bangunan masjid yang luasnya melebihi lapangan sepakbola dan dilanjutkan dengan sesi potret-memotret. Setelah itu pulang.
Tak terlalu masalah sebenarnya menjadikan tempat-tempat yang bersinggungan dengan simbol agama sebagai tujuan wisata. Toh, Bali berhasil membangun citra seribu pura beserta dengan segala aktivitas ritual didalamnya. Keberadaan turis tak mengganggu aktivitas sembahyang mereka. Atau lihat juga fenomena Pesantren Daarut Taauhid Gegerkalong Bandung yang kini telah disulap menjadi tujuan wisata baru. Dan Aa’ Gym sebagai tokohnya mampu menjadi ikon wisata religius ini. Jangan heran bila merchandise yang bergambar Aa Gym, mulai poster hingga foto olahan photoshop bersama keluarga Aa’ pun laku dijual.
Meski berlabel religius, pengunjung memang tak diharuskan memiliki pengalaman-pengalaman mistik setelah mengikuti wisata ini. Karena pada dasarnya tujuan mereka datang adalah untuk piknik. Jalan-jalan. Dan bersenang-senang. (Makanya jangan heran bila sutau saat anda berziarah ke makam wali, menyaksikan pengunjung yang bangga bial dipotret dengan latar makam wali).
Kalau disuruh memilih, jenis wisata apa yang cocok dikembangkan di Indonesia. Boleh deh memilih wisata maksiat atau wisata religius. Hidup adalah pilihan, apalagi kalau pilihan itu memang benar-benar ada dan dekat dengan keseharian kita.
Basi nggak sich bila saat ini kita masih menanyakan hal ini?

*)temukan juga tulisan ini di Majalah Mahasiswa FD IAIN Semarang ”MISSI”