M A T A H A T I

Saturday, November 11, 2006

HERO

Sebuah sayembara yang bikin heboh: ’’Barangsiapa yang sanggup menghentikan semburan lumpur panas Porong Sidoarjo dalam waktu 1X24 jam maka ia berhak mendapatkan satu unit rumah tipe 36 di sebuah kompleks perumahan’’.
Ini bukan main-main. Pengumuman sayembara yang ditujukan bagi siapa saja itu memang segera tersebar ke seantero Indonesia sejak September lalu. Pendaftaran dilakukan di sebuah balai desa, gratis, digarap serius, dan diserbu banyak peminat, layaknya sebuah kontes mencari bintang idola televisi. Dalam waktu 3 minggu, tak kurang dari 308 orang telah berbondong-bondong mendaftar mengikuti sayembara itu. Semuanya adalah paranormal.
Namun nyatanya, hingga kini, semburan lumpur semakin besar dan tak satu pun paranormal yang sanggup menghentikannya.
Boleh-boleh saja kita tersenyum membaca berita sayembara yang dimuat besar-besaran di berbagai koran itu. Inilah kenyataannya. Bisa jadi sayembara itu digelar sebagai sebuah ungkapan ketidakberdayaan, frustasi, kekecewaan, atau bisa juga sebagai sebuah sindiran masyarakat korban semburan lumpur panas terhadap berbagai upaya penyumbatan yang belum ada hasilnya.
Ribuan orang telah diungsikan dari rumah mereka yang tenggelam dan berharap datangnya ”Sang Pahlawan” yang bisa mengatasi kesulitan mereka.
Seperti halnya sayembara yang dikisahkan dalam cerita-cerita legenda. Biasanya sayembara yang digelar akan memunculkan seorang pahlawan, yang dinilai sanggup melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan penyelenggara. Dan tentunya sayembara itu juga menjanjikan hadiah yang bergelimang. Harapan besar akan datangnya pahlawan baru itu sama halnya yang tergambarkan pada konsep Satrio Piningit pada kultur Jawa.

***
Saya teringat sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, pernah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia. Salah satu materi yang disampaikan yaitu asal-usul kata pahlawan yang berasal dari perpaduan kata ”pahala” dan ”wan”, yang berarti orang yang berpahala. Oleh karenanya, secara gampang, pahlawan berarti siapa saja yang mampu menggapai pahala, berkat jasanya masyarakat bisa mendapatkan manfaatnya. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas, tanpa berharap imbal jasa.
Label pahlawan ini tak bisa dilekatkan begitu saja pada setiap orang. Ia adalah sebuah pengakuan orang lain atau masyarakat terhadap mereka yang telah ikhlas menyumbangkan segala kemampuannya. Oleh karenanya kita tak bisa menyebut kita sendiri adalah pahlawan, karena hal itu merupakan satu bentuk kesombongan.
Padanan kata "pahala" dan "wan" sesungguhya memberikan kesempatan yang lebih luas. Bisa saja seorang ibu dicap pahlawan oleh anak-anaknya, guru oleh murid-muridnya, atau bahkan sepasang kekasih yang saling berkorban sebagai tanda cinta.
Dalam cerita-cerita pahlawan bentukan Hollywood, mereka digambarkan sebagai tokoh yang berotot, gagah, memiliki kekuatan super dan suka memberi pertolongan. Apabila premis ini diberlakukan maka akan sempit definisi soal pahlawan.
Seperti halnya saat kita menyebut kata pahlawan maka yang tertuju adalah nama-nama pejuang kemerdekaan. Tak salah memang. Apalagi, saat ini, nama-nama mereka banyak diabadikan sebagai nama jalan protokol, yang diharapkan mampu mengingatkan pengabdian mereka terhadap bangsa ini (?). Bahkan, sekolah-sekolah pun mewajibkan menghafal profil mereka, seperti kota kelahiran, tanggal lahir dan wafatnya. Entahlah apakah cara ini efektif untuk menghargai jasa pahlawan dan meneruskan perjuangannya?

***
Banyak ladang pengabdian yang bisa digarap tanpa berharap mendapatkan sebutan pahlawan.
Acapkali kita dengar istilah pahlawan pembangunan, pahlawan tanpa tanda jasa, hingga pahlawan devisa. Semua sebutan itu mengarah pada orang-orang yang telah memberikan hasil jerih payahnya untuk masyarakat.
Namun yang penting diingat adalah pahlawan tak membatasi usia.
Lihatlah anak-anak pun bisa menjadi pahlawan bagi bangsanya. Bagaimana Tim Olimpiade Fisika Indonesia mampu mendapatkan gelar Absolute Winner dalam Olimpiade Fisika di Singapura pertengahan tahun ini. Lalu disusul prestasi Teater Tanah Air yang membawakan lakon ‘’WOW’’ memboyong 14 penghargaan dalam Festival Teater Anak Internasional pengahrgaan First Step to Nobel bidang kimia di Jerman.
Mereka bisa menjadi anak bangsa yang membanggakan, dengan prestasi yang mereka persembahkan untuk bangsa ini. Perjuangan bisa dilakoni di segala bidang. Ilmu pengetahuan, olah raga, hingga seni budaya.
Prestasi-prestasi tersebut merupakan angin segar bagi pemulihan citra bangsa yang terpuruk ini.
Bisa dibilang negeri kita, Indonesia, saat ini membutuhkan banyaknya pahlawan. Berbagai persoalan bangsa: korupsi, pembalakan kayu liar, kemiskinan, kebodohan, konflik antaretnis, dan terorisme, sebisa mungkin harus dituntaskan.
Dibutuhkan pahlawan yang sanggup mengangkat citra, harkat, dan martabat bangsa. Terdengar nasionalis dan tak semudah membalik telapak tangan memang.

*)Menyambut Hari Pahlawan 10 November 2006

4 Comments:

Post a Comment

<< Home