Metamorfosa Jepang
Tahun 2007 dan tahun-tahun berikutnya, industri mobil global akan diwarnai dengan kompetisi memproduksi mobil berteknologi irit bahan bakar. The Big Three from Detrot, yakni GM, Ford, dan Chrysler, telah mengambil ancang-ancang dengan mobil keluaran terbarunya sesuai dengan tren teknologi global.
Seperti halnya persaingan teknologi dalam industri mobil. Keberhasilan Toyota, mobil keluaran Jepang mendongkrak angka penjualannya di Amerika Serikat merupakan sebuah ancaman bagi The Big Three from Detroit: GM, Ford dan
Chrysler. Tahun mendatang persaingan ini akan mengarah pada kejar-kejaran dalam hal mengusung teknologi penghematan BBM. Padahal Toyota sudah membahas itu sejak
tahun 1970-an.
Bila tahun 2004, Ford telah membuat terobosan Escape Hybrid E85, yang mengombinasi teknologi hibrida dan mesin ethanol, maka pada tahun 2007 Ford telah berniat memproduksi Mazda Tribute Hybrid, disusul Ford Fusion dan sedan Mercury Milan Hybrid. Kemudian pada tahun 2008 hingga tahun 2010 jajaran produk Ford hibrida akan ditambah dengan produksi Ford Five Hundred, Mercury Montego, Ford Edge dan Lincolen MKX Crossovers.
Sementara Chrysler berniat memproduksi flexible-fuel vehicles sebanyak 500.000 mobil bensin-ethanol pada 2008. Dan, GM sebagai pabrikan mobil nomor satu di dunia, berencana meluncurkan Cadilac Tahoe, Cadilac Escalade, dan berbagai model kendaraan besar lainnya pada 2007. Semua kendaraan ini dirancang mampu mengonsumsi bahan bakar sebanyak 1 galon untuk 22 mil atau setara 1 liter untuk 5,867 km. Sebelumnya produk SUV buatan GM, mengonsumsi bahan bakar rata-rata 1 liter untuk 4 km. GM mengklaim model ini sebagai SUV yang paling efisien dikelasnya.
Mengapa mereka nampak berambisi untuk menjadi yang terdepan dalam hal penguasaan teknologi dan pasar? Jawabannya tak lain karena Toyota, mobil keluaran Jepang telah mengancam pasar mereka, dengan keberhasilannya memperbesar angka penjualan kendaraannya di Amerika Serikat. Tak ada yang menyangkal: pasar mobil terbesar di dunia adalah Amerika Serikat dengan penjualan sebesar 17 juta unit per tahun, pada tahun 2005. Dan Toyota berhasil membukukan peningkatan penjualan lebih dari 9% mencapai 2,2 juta unit. Sementara GM mencatat penurunan sebesar 4% dengan penjualan 4,5 juta unit.
Metamorfosa itu Ada di Jepang
Membicarakan Jepang tak sekadar teknologi mobil. Membicarakan Jepang berarti pula soal segala hal yang berbau futuristik dan masa depan. Dan hal itu dapat ditemukan dalam tumpukan komik, film animasi, mobil, fashion, gaya hidup, mesin-mesin robot, teknologi, sistem pendidikan, transportasi, telekomunikasi hingga etos kerja warga Jepang.
Siapa yang meragukan Jepang sebagai macan Asia, dan nampaknya percaya diri untuk menantang dunia Barat, yang mencitrakan sebagai dunia yang angkuh dan berego tinggi. Ekonomi bekembang dengan pesat, mendudukkan indeks perkembangan manusia pada 10 peringkat besar dunia. Pendapatan rata-rata pekerjanya sekitar 7 juta Yen setahun (kurang lebih Rp 560 juta). Begitu mudahnya menemukan Jepang di dalam rumah kita sendiri. Lihatlah televisi. Beragam merek seperti Sony, Sharp, Panasonic, Toshiba menghiasi rumah beserta perabot lainnya. Sesekali nontonlah program tayangan televisi bersama anak anda pada Minggu pagi. Anda akan disuguhi tokoh-tokoh super hero Ultraman hingga kartun menggemaskan Doraemon. Tak cukup berhenti di situ. Anak-anak menangkap kegiatan nonton televisi tak sekadar duduk manis dan melihat aksinya, melainkan juga telah berkembang sebagai sebuah sajian gaya hidup. Mulai dari kaos, buku, alat tulis, hingga sprei dan sarung bantal mereka bergambar tokoh televisi. Artinya sejak melek bangun tidur dan berangkat tidur lagi, tokoh kartun Jepang itu telah menemani keseharian anak. Televisi merupakan satu contoh-- kalau dibilang remeh temeh-- budaya Jepang mewarnai arus budaya global.
Sejarah kemajuan Jepang tak lahir dari kantong Doraemon yang bisa menghadirkan apa saja sesuai keinginan. Melainkan melalui proses jatuh bangun selama berabad-abad. Mungkin juga kita tak pernah menyangka bahwa Jepang dengan segala gemerlapnya itu pernah menjalani Politik Isolasi,
yakni melarang melakukan kontak hubungan dunia luar. Hal itu terjadi pada masa Keshogunan Tokugawa hingga tahun 1868, yang lebih disebabkan pada latarbelakang penyebaran agama. Ia melarang segala hubungan dengan orang-orang Eropa kecuali hubungan terbatas dengan pedagang Belanda di pulau Dejima. Mereka juga menjadi lebih berhati-hati terhadap pedagang dengan Tiongkok, khususnya setelah suku Manchu menguasai Tiongkok dan mendirikan Dinasti Qing. Suku Manchu menguasai Korea pada tahun 1637, dan pihak Jepang takut akan kemungkinan invasi dari suku Manchu. Jepang menjadi bahkan lebih terisolasi lagi dibandingkan sebelumnya. Periode pengurungan diri ini berakhir dua setengah abad kemudian, pada masa persatuan politis yang dikenal sebagai periode Edo, yang dianggap sebagai masa puncak kebudayaan pertengahan Jepang. Pada tahun 1854, Komodor AS, Matthew Perry memaksa dibukanya Jepang kepada Barat yang kemudian melatarbelakangi hancurnya keshogunan hingga akhirnya Restorasi Meiji mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Lalu Jepang mengadopsi beberapa institusi Barat, termasuk pemerintahan modern, sistem hukum, dan militer. Perubahan-perubahan ini mengubah Kekaisaran Jepang menjadi kekuatan dunia pada awal abad ke-20. Hingga akhirnya terlibat dalam perseteruan Perang Dunia II, yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, dua kota di Jepang, karena serangan bom Amerika Serikat. Bom tak menyebabkan negeri itu tenggelam dalam kesedihan berlarut, Jepang justru bangkit. Dari peristiwa bom itu muncullah pertanyaan Hirojito, Perdana Menteri Jepang saat itu, yang tenar dan menggugah; “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?”
Jepang pun Bermetamorfosa
Keberhasilan industri Jepang ditopang dua sisi: sejarah dan teknologi. Peralihan industri berat (peralatan militer) yang dikembangkan pada renovasi Meiji ke industri sipil memberi andil dalam keberhasilan industri Jepang. Dari sisi teknologi, didukung oleh keberhasilan machikouba yang berkembang menjadi industri besar dengan mengantongi ratusan paten. Mereka melahirkan produk-produk dengan sentuhan khas teknologi. Maka abad 21 kini lahirlah robot-robot yang menjiplak gaya manusia dari tangan-tangan perusahaan raksasa Jepang, seperti Hitachi, Sony, Honda, dan Toyota.
Barangkali, dengan kian dekatnya Jepang dalam keseharian hidup, menjadikan kita tak pernah menyadarinya bahwa kita tak pernah untuk mau tahu bagaimana Jepang bisa menggapai hal sedemikian. Perlukah pesimis?
Mantan Presiden Direktur Mitsui Co.Ltd Indonesia, Tetsu Yamaguchi, yang pernah 5 tahun berada di Indonesia, justru pernah mengungkapkan: “Bukan Indonesia yang memerlukan Jepang, tetapi Jepanglah yang sebenarnya lebih memerlukan Indonesia!" Perlu diketahui, 95 % dari keperluan minyak Jepang harus diekspor lewat wilayah Indonesia. Jepang butuh banyak imigran, yang diperkirakan mencapai 10 juta orang per tahun. Hal ini dikarenakan rasio usia produktif tiap
tahunnya terus mengalami penurunan di Jepang. Oleh karena itu perlu dilakukan transfer teknologi Jepang ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dan, tentunya, diperlukan sebuah kesiapan agar kita tak sekadar menjadi penonton dan pembeli setia produk-produk teknologi Jepang.
*) ditulis untuk Majalah "d'Java"