M A T A H A T I

Sunday, November 26, 2006



Metamorfosa Jepang

Tahun 2007 dan tahun-tahun berikutnya, industri mobil global akan diwarnai dengan kompetisi memproduksi mobil berteknologi irit bahan bakar. The Big Three from Detrot, yakni GM, Ford, dan Chrysler, telah mengambil ancang-ancang dengan mobil keluaran terbarunya sesuai dengan tren teknologi global.
Seperti halnya persaingan teknologi dalam industri mobil. Keberhasilan Toyota, mobil keluaran Jepang mendongkrak angka penjualannya di Amerika Serikat merupakan sebuah ancaman bagi The Big Three from Detroit: GM, Ford dan
Chrysler. Tahun mendatang persaingan ini akan mengarah pada kejar-kejaran dalam hal mengusung teknologi penghematan BBM. Padahal Toyota sudah membahas itu sejak
tahun 1970-an.
Bila tahun 2004, Ford telah membuat terobosan Escape Hybrid E85, yang mengombinasi teknologi hibrida dan mesin ethanol, maka pada tahun 2007 Ford telah berniat memproduksi Mazda Tribute Hybrid, disusul Ford Fusion dan sedan Mercury Milan Hybrid. Kemudian pada tahun 2008 hingga tahun 2010 jajaran produk Ford hibrida akan ditambah dengan produksi Ford Five Hundred, Mercury Montego, Ford Edge dan Lincolen MKX Crossovers.
Sementara Chrysler berniat memproduksi flexible-fuel vehicles sebanyak 500.000 mobil bensin-ethanol pada 2008. Dan, GM sebagai pabrikan mobil nomor satu di dunia, berencana meluncurkan Cadilac Tahoe, Cadilac Escalade, dan berbagai model kendaraan besar lainnya pada 2007. Semua kendaraan ini dirancang mampu mengonsumsi bahan bakar sebanyak 1 galon untuk 22 mil atau setara 1 liter untuk 5,867 km. Sebelumnya produk SUV buatan GM, mengonsumsi bahan bakar rata-rata 1 liter untuk 4 km. GM mengklaim model ini sebagai SUV yang paling efisien dikelasnya.
Mengapa mereka nampak berambisi untuk menjadi yang terdepan dalam hal penguasaan teknologi dan pasar? Jawabannya tak lain karena Toyota, mobil keluaran Jepang telah mengancam pasar mereka, dengan keberhasilannya memperbesar angka penjualan kendaraannya di Amerika Serikat. Tak ada yang menyangkal: pasar mobil terbesar di dunia adalah Amerika Serikat dengan penjualan sebesar 17 juta unit per tahun, pada tahun 2005. Dan Toyota berhasil membukukan peningkatan penjualan lebih dari 9% mencapai 2,2 juta unit. Sementara GM mencatat penurunan sebesar 4% dengan penjualan 4,5 juta unit.

Metamorfosa itu Ada di Jepang

Membicarakan Jepang tak sekadar teknologi mobil. Membicarakan Jepang berarti pula soal segala hal yang berbau futuristik dan masa depan. Dan hal itu dapat ditemukan dalam tumpukan komik, film animasi, mobil, fashion, gaya hidup, mesin-mesin robot, teknologi, sistem pendidikan, transportasi, telekomunikasi hingga etos kerja warga Jepang.
Siapa yang meragukan Jepang sebagai macan Asia, dan nampaknya percaya diri untuk menantang dunia Barat, yang mencitrakan sebagai dunia yang angkuh dan berego tinggi. Ekonomi bekembang dengan pesat, mendudukkan indeks perkembangan manusia pada 10 peringkat besar dunia. Pendapatan rata-rata pekerjanya sekitar 7 juta Yen setahun (kurang lebih Rp 560 juta). Begitu mudahnya menemukan Jepang di dalam rumah kita sendiri. Lihatlah televisi. Beragam merek seperti Sony, Sharp, Panasonic, Toshiba menghiasi rumah beserta perabot lainnya. Sesekali nontonlah program tayangan televisi bersama anak anda pada Minggu pagi. Anda akan disuguhi tokoh-tokoh super hero Ultraman hingga kartun menggemaskan Doraemon. Tak cukup berhenti di situ. Anak-anak menangkap kegiatan nonton televisi tak sekadar duduk manis dan melihat aksinya, melainkan juga telah berkembang sebagai sebuah sajian gaya hidup. Mulai dari kaos, buku, alat tulis, hingga sprei dan sarung bantal mereka bergambar tokoh televisi. Artinya sejak melek bangun tidur dan berangkat tidur lagi, tokoh kartun Jepang itu telah menemani keseharian anak. Televisi merupakan satu contoh-- kalau dibilang remeh temeh-- budaya Jepang mewarnai arus budaya global.
Sejarah kemajuan Jepang tak lahir dari kantong Doraemon yang bisa menghadirkan apa saja sesuai keinginan. Melainkan melalui proses jatuh bangun selama berabad-abad. Mungkin juga kita tak pernah menyangka bahwa Jepang dengan segala gemerlapnya itu pernah menjalani Politik Isolasi,
yakni melarang melakukan kontak hubungan dunia luar. Hal itu terjadi pada masa Keshogunan Tokugawa hingga tahun 1868, yang lebih disebabkan pada latarbelakang penyebaran agama. Ia melarang segala hubungan dengan orang-orang Eropa kecuali hubungan terbatas dengan pedagang Belanda di pulau Dejima. Mereka juga menjadi lebih berhati-hati terhadap pedagang dengan Tiongkok, khususnya setelah suku Manchu menguasai Tiongkok dan mendirikan Dinasti Qing. Suku Manchu menguasai Korea pada tahun 1637, dan pihak Jepang takut akan kemungkinan invasi dari suku Manchu. Jepang menjadi bahkan lebih terisolasi lagi dibandingkan sebelumnya. Periode pengurungan diri ini berakhir dua setengah abad kemudian, pada masa persatuan politis yang dikenal sebagai periode Edo, yang dianggap sebagai masa puncak kebudayaan pertengahan Jepang. Pada tahun 1854, Komodor AS, Matthew Perry memaksa dibukanya Jepang kepada Barat yang kemudian melatarbelakangi hancurnya keshogunan hingga akhirnya Restorasi Meiji mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Lalu Jepang mengadopsi beberapa institusi Barat, termasuk pemerintahan modern, sistem hukum, dan militer. Perubahan-perubahan ini mengubah Kekaisaran Jepang menjadi kekuatan dunia pada awal abad ke-20. Hingga akhirnya terlibat dalam perseteruan Perang Dunia II, yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, dua kota di Jepang, karena serangan bom Amerika Serikat. Bom tak menyebabkan negeri itu tenggelam dalam kesedihan berlarut, Jepang justru bangkit. Dari peristiwa bom itu muncullah pertanyaan Hirojito, Perdana Menteri Jepang saat itu, yang tenar dan menggugah; “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?”

Jepang pun Bermetamorfosa

Keberhasilan industri Jepang ditopang dua sisi: sejarah dan teknologi. Peralihan industri berat (peralatan militer) yang dikembangkan pada renovasi Meiji ke industri sipil memberi andil dalam keberhasilan industri Jepang. Dari sisi teknologi, didukung oleh keberhasilan machikouba yang berkembang menjadi industri besar dengan mengantongi ratusan paten. Mereka melahirkan produk-produk dengan sentuhan khas teknologi. Maka abad 21 kini lahirlah robot-robot yang menjiplak gaya manusia dari tangan-tangan perusahaan raksasa Jepang, seperti Hitachi, Sony, Honda, dan Toyota.
Barangkali, dengan kian dekatnya Jepang dalam keseharian hidup, menjadikan kita tak pernah menyadarinya bahwa kita tak pernah untuk mau tahu bagaimana Jepang bisa menggapai hal sedemikian. Perlukah pesimis?
Mantan Presiden Direktur Mitsui Co.Ltd Indonesia, Tetsu Yamaguchi, yang pernah 5 tahun berada di Indonesia, justru pernah mengungkapkan: “Bukan Indonesia yang memerlukan Jepang, tetapi Jepanglah yang sebenarnya lebih memerlukan Indonesia!" Perlu diketahui, 95 % dari keperluan minyak Jepang harus diekspor lewat wilayah Indonesia. Jepang butuh banyak imigran, yang diperkirakan mencapai 10 juta orang per tahun. Hal ini dikarenakan rasio usia produktif tiap
tahunnya terus mengalami penurunan di Jepang. Oleh karena itu perlu dilakukan transfer teknologi Jepang ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dan, tentunya, diperlukan sebuah kesiapan agar kita tak sekadar menjadi penonton dan pembeli setia produk-produk teknologi Jepang.


*) ditulis untuk Majalah "d'Java"

Wednesday, November 15, 2006


TANAM BAKAU: Sejumlah tukang loenpia menanam bibit bakau sebanyak 3.500 batang di pantai Pulau Tirang untuk menghindari terjadinya abrasi.

Tanam Bakau Selamatkan Pulau Tirang

BERAWAL dari hasil posting di weblog http://loenpia.net, informasi aksi penanaman tanaman bakau atau mangrove di Pulau Tirang, 15 menit ke arah utara Sungai Tapak Tugurejo Selasa (14/11), langsung menyebar di kalangan peminat dunia maya. Respon komunitas blogger itu cukup tinggi terhadap kegiatan peduli lingkungan yang diprakarsai oleh Badan Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Semarang. Tak kurang 20 tukang loenpia, sebutan bagi komunitas tersebut, mengambil bagian untuk bergabung dengan masyarakat Tapak Tugurejo menanam 3.500 bibit bakau. Bahkan dua mahasiswi asal Belanda, Jessica dan Ellen, yang sedang melakukan penelitian di RSUP Dr Kariadi pun tertarik untuk turut serta.
Program penyelamatan Pulau Tirang dari ancaman gerusan ombak laut atau abrasi itu dinilai cukup mendesak, mengingat luas pulau tersebut semakin menyusut tiap tahunnya. Padahal, keberadaan pulau yang memanjang dari barat ke timur itu berguna untuk melindungi tambak-tambak warga dari hantaman ombak. Selain itu juga melindungi ekosistem air payau yang ada.
Menurut Nurweni, Kabid Pemantauan dan Pemulihan Kualitas Lingkungan Bapedalda Kota Semarang, pengembangan program ini dilakukan secara berkesinambungan. Rencananya kegiatan itu akan dilakukan rutin, terutama di daerah pantai yang terancam abrasi. Awal Desember mendatang, pantai di daerah Mangkang akan menjadi sasaran program berikutnya.
''Untuk mewujudkan program ini kami memberdayakan masyarakat setempat dengan menggandeng kerjasama anggota Karang Taruna di Tapak,'' katanya.
Program pemberdayaan dijalankan mulai dari memanen bibit, menanam bibit di log atau kantong plastik kecil hingga menanam bibit di pantai. Setelah bibit ditanam, bambu ditempatkan menutupi bibit untuk melindunginya.
Abdur Rofik, Koordinator penanaman bakau, mengatakan ancaman abrasi kian nyata. Ia, yang juga warga Tapak, mengenang semasa bersekolah di bangku SMP seringkali bermain di Pulau Tirang. Bila dibandingkan saat itu, luas pulau bertanah pasir tersebut kini tinggal sepertiganya. Kegiatan-kegiatan penanaman bakau ini telah dikenalnya sejak kecil. Lantaran orang-orang tua mereka juga telah melakukan hal serupa. Selama ini pihaknya juga seringkali diajak kerjasama oleh LSM ataupecinta alam untuk penyediaan bibit bakau.
''Penanaman bakau juga dimanfaatkan sebagai sarana pemijahan ikan serta pengendalian zat-zat adiktif dari pabrik-pabrik yang mencemari Sungai Tapak,'' katanya.
Bagi Loenpianers aksi peduli lingkungan itu jadi sarana ekowisata. Mereka menyusuri Sungai Tapak dengan perahu bermotor, dengan bantaran yang dipenuhi hutan bakau. Nuansa alami begitu menyelimuti perjalanan, seperti kicau burung dan ikan kecil yang melompat-lompat dipermukaan laut. Bahkan biota air payau, seperti kepiting dan ketam terlihat banyak di sela-sela akar bakau.
''Menanam bakau ini menjadi pengalaman pertama bagi kami,'' kata Loenpianers, Budiyono.

*) temukan juga tulisan ini di Harian Suara Merdeka tanggal 15 November 2006 Hal 19

Sunday, November 12, 2006


Halal Bihalal Awak Loenpia

awak loenpia rame2 gelar halal-bihalal. Tak kurang 30 orang turut serta dalam acara itu. Bisa bayangin ramenya acara seperti apa. Bersalam-salaman. Bermaaf-maafan. tak ada yang lebih menyenangkan selain kumpul2, berbagi cerita, berhaha-hihi, sambil ngomongin program loenpia ke depan, yg kabarnya makin laris jadi tutor diberbagai pelatihan nge-blog. Seperti biasa, bawah menara Masjid Baiturrahman jadi tempat favorit untuk saling bersua. Karena tempatnya penuh dan gelap akhirnya acara pun digiring ke tengah Lapangan Simpanglima, di bawah balon gas StarOne. Aduh..... bisa selonjor di rerumputan nih. Padahal kalau diperhatikan undangannya acara digelar di Wonderia. Loh kok jadinya di Simpanglima? (panitia harus tanggung jawab nih. Soale aku kecele dah nyampe di parkiran Wonderia)Tapi tak apalah, apa artinya sebuah tempat. yang penting kan rame2nya. Pake acara makan2 dengan menu "sega kucing + mendoan + krupuk". Buat ngayem2in: didalam kesederhanaan masih ada kebersamaan.

Saturday, November 11, 2006

HERO

Sebuah sayembara yang bikin heboh: ’’Barangsiapa yang sanggup menghentikan semburan lumpur panas Porong Sidoarjo dalam waktu 1X24 jam maka ia berhak mendapatkan satu unit rumah tipe 36 di sebuah kompleks perumahan’’.
Ini bukan main-main. Pengumuman sayembara yang ditujukan bagi siapa saja itu memang segera tersebar ke seantero Indonesia sejak September lalu. Pendaftaran dilakukan di sebuah balai desa, gratis, digarap serius, dan diserbu banyak peminat, layaknya sebuah kontes mencari bintang idola televisi. Dalam waktu 3 minggu, tak kurang dari 308 orang telah berbondong-bondong mendaftar mengikuti sayembara itu. Semuanya adalah paranormal.
Namun nyatanya, hingga kini, semburan lumpur semakin besar dan tak satu pun paranormal yang sanggup menghentikannya.
Boleh-boleh saja kita tersenyum membaca berita sayembara yang dimuat besar-besaran di berbagai koran itu. Inilah kenyataannya. Bisa jadi sayembara itu digelar sebagai sebuah ungkapan ketidakberdayaan, frustasi, kekecewaan, atau bisa juga sebagai sebuah sindiran masyarakat korban semburan lumpur panas terhadap berbagai upaya penyumbatan yang belum ada hasilnya.
Ribuan orang telah diungsikan dari rumah mereka yang tenggelam dan berharap datangnya ”Sang Pahlawan” yang bisa mengatasi kesulitan mereka.
Seperti halnya sayembara yang dikisahkan dalam cerita-cerita legenda. Biasanya sayembara yang digelar akan memunculkan seorang pahlawan, yang dinilai sanggup melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan penyelenggara. Dan tentunya sayembara itu juga menjanjikan hadiah yang bergelimang. Harapan besar akan datangnya pahlawan baru itu sama halnya yang tergambarkan pada konsep Satrio Piningit pada kultur Jawa.

***
Saya teringat sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, pernah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia. Salah satu materi yang disampaikan yaitu asal-usul kata pahlawan yang berasal dari perpaduan kata ”pahala” dan ”wan”, yang berarti orang yang berpahala. Oleh karenanya, secara gampang, pahlawan berarti siapa saja yang mampu menggapai pahala, berkat jasanya masyarakat bisa mendapatkan manfaatnya. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas, tanpa berharap imbal jasa.
Label pahlawan ini tak bisa dilekatkan begitu saja pada setiap orang. Ia adalah sebuah pengakuan orang lain atau masyarakat terhadap mereka yang telah ikhlas menyumbangkan segala kemampuannya. Oleh karenanya kita tak bisa menyebut kita sendiri adalah pahlawan, karena hal itu merupakan satu bentuk kesombongan.
Padanan kata "pahala" dan "wan" sesungguhya memberikan kesempatan yang lebih luas. Bisa saja seorang ibu dicap pahlawan oleh anak-anaknya, guru oleh murid-muridnya, atau bahkan sepasang kekasih yang saling berkorban sebagai tanda cinta.
Dalam cerita-cerita pahlawan bentukan Hollywood, mereka digambarkan sebagai tokoh yang berotot, gagah, memiliki kekuatan super dan suka memberi pertolongan. Apabila premis ini diberlakukan maka akan sempit definisi soal pahlawan.
Seperti halnya saat kita menyebut kata pahlawan maka yang tertuju adalah nama-nama pejuang kemerdekaan. Tak salah memang. Apalagi, saat ini, nama-nama mereka banyak diabadikan sebagai nama jalan protokol, yang diharapkan mampu mengingatkan pengabdian mereka terhadap bangsa ini (?). Bahkan, sekolah-sekolah pun mewajibkan menghafal profil mereka, seperti kota kelahiran, tanggal lahir dan wafatnya. Entahlah apakah cara ini efektif untuk menghargai jasa pahlawan dan meneruskan perjuangannya?

***
Banyak ladang pengabdian yang bisa digarap tanpa berharap mendapatkan sebutan pahlawan.
Acapkali kita dengar istilah pahlawan pembangunan, pahlawan tanpa tanda jasa, hingga pahlawan devisa. Semua sebutan itu mengarah pada orang-orang yang telah memberikan hasil jerih payahnya untuk masyarakat.
Namun yang penting diingat adalah pahlawan tak membatasi usia.
Lihatlah anak-anak pun bisa menjadi pahlawan bagi bangsanya. Bagaimana Tim Olimpiade Fisika Indonesia mampu mendapatkan gelar Absolute Winner dalam Olimpiade Fisika di Singapura pertengahan tahun ini. Lalu disusul prestasi Teater Tanah Air yang membawakan lakon ‘’WOW’’ memboyong 14 penghargaan dalam Festival Teater Anak Internasional pengahrgaan First Step to Nobel bidang kimia di Jerman.
Mereka bisa menjadi anak bangsa yang membanggakan, dengan prestasi yang mereka persembahkan untuk bangsa ini. Perjuangan bisa dilakoni di segala bidang. Ilmu pengetahuan, olah raga, hingga seni budaya.
Prestasi-prestasi tersebut merupakan angin segar bagi pemulihan citra bangsa yang terpuruk ini.
Bisa dibilang negeri kita, Indonesia, saat ini membutuhkan banyaknya pahlawan. Berbagai persoalan bangsa: korupsi, pembalakan kayu liar, kemiskinan, kebodohan, konflik antaretnis, dan terorisme, sebisa mungkin harus dituntaskan.
Dibutuhkan pahlawan yang sanggup mengangkat citra, harkat, dan martabat bangsa. Terdengar nasionalis dan tak semudah membalik telapak tangan memang.

*)Menyambut Hari Pahlawan 10 November 2006

Friday, November 10, 2006

Bakda Kupat: Dengan Kupat Mengaku Lepat

Konon tradisi menyediakan makanan terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda dan dianyam sedemikian rupa membentuk persegi belah ketupat itu, diperkirakan masuk ke tanah Jawa ketika agama Islam diterima masyarakat. Sunan Kalijaga adalah orang kali pertama yang memperkenalkan tradisi tersebut. Beliaulah yang membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran yang jatuh bertepatan 1 Syawal dan Bakda Kupat yang berlangsung satu minggu setelah Lebaran.

Budayawan Djawahir Muhammad mengungkapkan, tradisi Bakda Kupat yang menggunakan ketupat sebenarnya merupakan simbol bahwa seseorang yang membawa ketupat itu, manusia yang mengaku lepat (keliru-Red).

Anyaman ketupat yang rumit dan selang-seling itu merupakan pencerminan berbagai macam kesalahan manusia. Warna putih ketika ketupat dibelah menjadi dua mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan.

Selain itu, juga mencerminkan kesempurnaan apabila dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu dihubungkan dengan kemenangan umat muslim setelah sebulan berpuasa dan akhirnya menginjak hari yang fitri. Dengan demikian, secara eksplisit ketupat merupakan simbolisasi permintaan maaf dan silaturahmi. ''Secara visual, pengakuan lepat ditunjukkan dengan mengantar makanan dan masakan ke kerabat yang lebih tua atau tetangga,'' katanya.

Sebagai variasi penyajian makanan nasi yang terbungkus daun kelapa itu, masyarakat umumnya melengkapi dengan lontong, opor ayam, dan sambal goreng hati. Padahal, ujar Djawahir, zaman dahulu makan ketupat ditemani dengan sayur lodeh. Penggunaan sayur tersebut sebagai simbol bahwa setelah berpesta makan enak selama Bakda Lebaran, sudah saatnya masyarakat kembali ke suasana kesederhanaan dengan makan ketupat ditemani sayur lodeh.


Hidupkan Tradisi


Meski berhadapan arus modernisasi, perayaan Bakda Kupat ini masih bisa dijumpai di beberapa tempat di Kota Semarang. Salah satunya, tradisi ini bisa dilihat di beberapa tempat di Kelurahan Kuningan, Semarang Utara. Warga berbagai usia berdatangan ke beberapa mushala dan masjid yang menggelar acara itu, sejak pagi pukul 06.00. Beduk dan kentongan terdengar bertalu-talu memanggil warga untuk segera mengikuti acara yang kini sudah mulai ditinggalkan.

Meski tak dikenal ''Kota Santri'', tradisi perayaan kupatan di Kuningan ini masih cukup ramai. Salah satunya, di Mushala Al-Ikhsan RW 1 kelurahan tersebut. Puluhan warga berdatangan membawa nampan berisikan beragam menu masakan ketupat dan lepet. Acara diisi dengan penyampaian uraian sejarah tradisi kupatan dan membaca tahlil bersama. Dilanjutkan bersalam-salaman untuk memperkuat silaturahmi dan ajang saling memaafkan. ''Tradisi Jawa itu kaya dengan simbol dan sanepa. Antara lain kupat yang berarti mengaku lepat, lontong berarti olo-olo dadi kotong (yang jelek menjadi hilang),'' kata Sochib, takmir Musala Al-Ikhsan ini.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah warga yang mengikuti tradisi ini mulai menyusut. Salah satunya, hari itu sebagian masyarakat sudah mulai berangkat kerja atau sekolah. Dengan demikian, mereka tidak bisa mengikuti acara tersebut.

''Selain itu, kesadaran mengikuti kegiatan di masjid dan mushala juga berkurang,'' katanya.

*) temukan juga tulisan ini di Harian Suara Merdeka, Jumat 11 November 2005

Analyze Yourself

Hidup laksana berdiri di depan rak-rak supermarket. Banyak ragam yang bisa menjadi pilihan. Ini karena manusia punya kehendak. Namun, sudahkah pilihan hidup itu benar-benar sebagai sesuatu yang terbaik atau bahkan keterpaksaan. Kenali dirimu dan renungkanlah.

Bukan Robot.
Bak seekor anjing yang dikendalikan lonceng penanda waktu makan. Karena kebiasaannya, anjing ini akan berlari-lari dengan menjulurkan lidah dan mengeluarkan air liur saat lonceng berbunyi dan makanan ada di depan matanya.
Oleh Ivan Petrovich Pavlov, peraih Nobel karena teori psikologi behaviourismenya, fenomena anjing ini menjadi sasaran eksperimen untuk membuktikan bahwa respon yang sama bisa muncul kembali bila dikondisikan.
Ya, anjing memang bukan robot yang bisa diatur kelakuannya. Tapi hidupnya telah menjadi dikendalikan. Karena insting yang diciptakan untuk terbiasa, maka juluran lidah dan tetesan air liur akan dilakukan kembali.
Bagaimana dengan manusia, yang dibekali kemuliaan akal pikiran? Tidakkah ia tidak lepas dari kendali yang kaku itu?

Life isn't free!
Manusia tidak sepenuhnya bebas. Ia bisa mengontrol situasi, tapi juga dikontrol situasi. Manusia memiliki banyak keinginan, tapi tak semua keinginan ini bisa dipenuhi lantaran terbentur situasi. Seperti halnya supermarket, bisa jadi hati menginginkan semua yang tersaji dalam rak-rak. Tapi adakah kemampuan untuk menuruti semua keinginan itu. Lain sisi, seringkali lingkup sosial menjadi perangkap manusia untuk hidup sesuai aturan-aturan yang berlaku. Kehidupan tidak lepas dari nilai-nilai. Seseorang yang bijak maka ia akan menyelaraskan hidupnya dengan lingkunganya. Lingkungan ini merupakan salah satu guru dalam pembelajaran, seperti dipaparkan Albert Bandura, pencetus Social Learning Theory.
Tapi sebagian dari manusia sebenarnya telah lupa bahwa ada hal-hal lain yang tak terduga dan harus dipahami. Bandura meneruskannya dengan apa yang disebut "unconscious object learning".

Well.
Apa yang harus diperbuat manusia dalam sepenggal waktu hidup yang masih tersisa. Self analysis! Koreksi diri terhadap segala kekurangan dan kelebihanmu. Manusia dibekali dengan berbagai potensi, sudah sepatutnya dikembangkan. Manusia dihinggapi kekurangan, sudah selayaknya dilakukan perbaikan.

Tersebutlah kisah Sukab, karakter yang dimunculkan cerpenis Seno Gumira Ajidarma dalam karyanya, ''Legenda Wongasu''. Manusia-manusia berkepala anjing, menyalak-nyalak dan berkaing-kaing, melolong-lolong. Begitulah, manusia anjing sebagai sebuah gambaran ironi karmapala, ia merupakan titik terendah dalam kehidupan seorang Sukab dan juga masyarakat.
Kala manusia sudah kehilangan naluri insaninya maka ia sudah meninggalkan sisi manusiawinya. Dan Seno seakan ingin mengungkapkan kondisi ini telah menggejala sedemikian rupa dalam dunia nyata.

Ramadhan.
Ya, Ramadhan adalah momentum besar untuk menata ulang hati, menuju yang fitri. Begitu mulianya Ramadhan. Hingga Sang Pencipta pun menjanjikan pintu-pintu surga terbuka. Dan pintu-pintu neraka tertutup rapat.
Ramadhan seakan mengingatkan sejauh apapun manusia pergi, ia harus berpulang kepada yang suci. Sejauh apapun manusia melangkah, ia harus menggapai fitrah.
Dalam satu lingkaran penuh jarum jam, tak mungkin manusia dalam keadaan baik-baik saja. Kekhilafan karena nafsu bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Oleh karenanya rentang waktu 24 jam, harusnya ada pemetaan sikap bagaimana menyikapi perubahan detik ke menit, dan menit ke jam. Memang, bukan suatu perkara mudah untuk bisa benar-benar menerapkannya.
Permasalahannya, dalam hati manusia ada satu ruang: ruang kesombongan. Kendali diri diperlukan untuk meredam rasa superioritas yang berlebihan.

Kalau memang bukan Sukab, manusia berkepala anjing, maka sering-seringlah bercermin terhadap apa yang ada pada diri kita. Cermin memperlihatkan kepada kita tentang hal-hal yang tak terlihat oleh diri kita sendiri. Mata, wajah, hidung, dagu, alis dan.....

Analyze yourself!
Tidak ada yang bisa menjamin seperti apakah jejak langkah yang sudah kita tinggalkan. Orang bijak adalah mereka yang tidak mau seperti keledai terperosok dalam lubang yang sama.
Lingkungan, barangkali, sebagai guru yang baik, termasuk orang-orang di sekitar kita. Mereka adalah cermin dari diri. Mereka akan mengkritik dan penilaian mereka tentang siapa diri kita. Keterbukaan menjadi penting dalam proses pembelajaran. Belajar mengolah rasa.
Tak berlebihan bila meempertanyakan kembali, adakah yang lebih baik dari kelembutan hati, kehalusan budi pekerti, keadilan, keberanian, kasih sayang, kejujuran, amanah, kedermawanan, dan keikhlasan.

*)Temukan juga tulisan ini Majalah "d'java" edisi Oktober 2006

Merindu Ramadhan

Nyadran.
Tradisi yang berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa menjelang datangnya bulan Ramadhan ini tak lekang oleh zaman. Meski modernisasi telah memicu ego menjadi raja, dan pragmatisme menjadi pegangan, tradisi nyadran seolah menjadi keharusan. Tak sedikit, masyarakat rantau pulang ke kampung halaman untuk menunaikannya.
Ya, tradisi berupa ritual pemanjatan doa bagi orang yang sudah meninggal serta melakukan bersih-bersih kubur ini bukan sekadar rutinitas periodik. Andai kita bisa berpikir bijak, maka ada nilai-nilai filosofis yang bisa digali dari tradisi ini: ziarah kubur akan selalu mengingatkan bahwa tidak semua di antara kita bisa menikmati Ramadhan tahun ini.
Oleh karenanya, kita yang masih punya kesempatan usia, masihkah hendak mensia-siakannya.
Lihatlah kisah para sahabat Rasulullah SAW. Dalam rentang masa satu tahun, betapa mereka merindukan 5,5 bulan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Dan 5,5 bulan yang lain dipergunakan untuk berdoa agar mendapatkan keberkahan Ramadhan yang telah berlalu.
Sedemikian besar harapan mereka terhadap Ramadhan, bulan yang dijanjikan penuh dengan rahmat kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
Adakah seseorang yang berharap datangnya Ramadhan sama halnya dengan yang dilakukan para sahabat Rasulullah SAW?
Rasulullah SAW bersabda, "Jika kalian mengetahui apa yang ditakdirkan bagi kalian dalam bulan Ramadhan, kalian akan sangat bersyukur kepada Allah."
Bagai tumbuhan yang hidup di tengah padang pasir, meski disengat terik panas matahari dan diterpa angin panas, namun selalu kuat bertahan. Demikian halnya dengan puasa Ramadhan. Ibadah ini melatih untuk menghadapi kesukaran dan kesusahan yang menerpa.
Begitu banyak alasan mengapa kita merindukan Ramadhan. Pahala yang dilipatgandakan, disebarkannya ampunan. Membukakan pintu-pintu surga serta menutup rapat-rapat pintu neraka. Diberkahinya malam seribu bulan Lailatul Qadar. Mempererat kebersamaan, menguatkan kesabaran, mendorong rasa ikhlas dan bersyukur.
Merindu Ramadhan sama halnya dengan menatap waktu. Hanya dalam masa satu bulan, kita bisa menikmatinya. Selanjutnya, kita harus menunggu waktu sebelas bulan berikutnya untuk bertemu lagi. Padahal sebelas bulan yang lalu kita lalui dengan kemurkaan. Sebelas bulan yang lalu kita terjauh dari rahmat Allah.
Seberapa besar harapan kita terhadap datangnya Ramadan? Mampukah terbersit bagaimana kita bisa menikmati Ramadan? Bila rasa itu tak ada, maka hanya kesia-siaan lapar dan dahaga saja yang didapat.
Ramadhan telah datang, saatnya menata ulang hati kita.
"Andai saja umatku mengetahui kemuliaan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan satu tahun itu penuh dengan Ramadhan". Demikian sabda Rasulullah SAW.

Wisata Religius

Acapkali kita mendengar kosakata wisata religius. Kata religius ini berarti menyandarkan pada segala sesuatu yang bersifat religi, keagamaan. Kata ini cukup populer setelah berlangsungnya perayaan 600 tahun pelayaran Cheng Ho yang dipusatkan di Kelenteng Sam Po Kong Simongan serta keberadaan Masjid Agung Jawa Tengah di Jl Gajah. Kedua tempat itu hingga kini masih dalam tahap proses penyelesaian pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap.
Oleh Pemda Jateng, pelaku wisata, dan tentunya pihak-pihak yang berkepentingan menyatakan tempat tersebut berpotensi besar dalam pengembangan wisata religius.
Jauh-jauh hari, di Jateng keberadaan Candi Borobudur Magelang, Masjid Demak, Masjid Al Aqsha Menara Kudus, serta makam-makam wali. Tempat peziarahan itu sudah ramai dikunjungi berjuta-juta orang hingga kini. Oleh karenanya disebut pula sebagai bagian dari wisata religius.
Menilik kata ”wisata religius”, kadangkala saya tersenyum sendiri. Bagaimana tidak? Kalau ada wisata religius, maka di tempat lain terdapat wisata yang tak religius. Seperti konsep yin dan yang dalam tradisi China, segala sesuatu pasti ada lawannya. Kalau kata ’ukhrawi’ maka akan dihadapkan dengan kata ’duniawi’, begitu pula dengan kata ’agamis’ vs ’sekuler’. Dengan demikian wisata religius berarti lawannya adalah wisata maksiat. Hah! Nauudzubillah min dzalik.
Adakah yang namanya wisata maksiat itu? Saya berpikir wisata jenis ini pasti identik dengan dosa. Padahal seringkali perbuatan dosa itu pasti mengasyikkan dan enak-enak, karenanya Setan tak henti-hentinya menggoda manusia untuk melakukan hal itu. (Jadi ingat lagunya Bang Haji Rhoma nih, ”Mengapa yang enak-enak selalu diharamkan.”
Kalau kita lihat beberapa negara tujuan wisata, tak usah jauh-jauh sekitar ASEAN misalnya. Aset wisata yang dijual ternyata tak melulu wisata alam atau wisata budaya. Namun juga wisata maskiat tadi. Lho kok?
Di Thailand, adegan tarian striptease hingga gerak-gerik orang bersenggama konon bisa dipertunjukkan di muka umum (dengan membayar tarif masuk dan dikhususkan bagi orang dewasa tentunya). Atau Malaysia dan Singapura yang memiliki tempat-tempat kasino, meski tak sebesar Las Vegas. Tak sedikit orang Indonesia yang ”terbang” dengan membawa segepok uang ke negeri itu hanya untuk bertaruh di meja judi. Sebuah kesenangan duniawi yang tak terperi.
Jujur saya memang belum pernah mengunjungi negara-negara itu. Karena kota yang terjauh yang pernah saya kunjungi baru Jakarta dan Bali. Permasalahannya, bagaimana kalau kedua jenis wisata itu di promosikan di Indonesia? Mungkin kita akan bersiap-siap melihat sekompi barisan laskar akan mengusak-asik lokasi wisata maksiat itu, seperti halnya saat mereka menyerbu kantor redaksi majalah Playboy yang baru terbit di Jakarta.
DI tingkatan lokal gagasan lokalisasi judi bahkan seringkali terlontar, namun diimbangi dengan protes-protes masyarakat. Meski sebenarnya di beberapa tempat sajian-sajian wisata jenis ini juga bisa ditemukan, termasuk Semarang. Sesekali keluar malamlah ke kafe saat menggelar party. Tarian perempuan semi telanjang atau telanjang namun di-”blur” dengan aksi body painting bukan barang asing bagi penikmat dugem. Alasan klasik yang kerap dilontarkan oleh pengelola kafe biasanya, penampilan mereka tidak vulgar karena masih mengenakan pakaian dalam alias celana dalam dan BH saja.
Lalu soal kasino yang menggunakan istilah lokal permainan ketangkasan (bedanya apa hayo?) juga sering kita dengar. Meski beberapa kali aparat kepolisian telah menggelar razia di tempat-tempat, nyatanya permainan adu ketangkasan ini masih tetap saja ada yang beroperasi, dengan status ilegal tentunya. Jangan-jangan yang namanya beking aparat itu ada benarnya juga..... wallahu alam.
Kembali ke soal konsep yin dan yang, di mana ada kebaikan maka di situ ada keburukan. Oleh karenanya di mana ada religiositas maka di situ akan ada pula kemaksiatan. Seorang teman pernah melontarkan celetukan, ”Jangan-jangan kosakata wisata religius ini hasil kerjaan orang-orang IAIN.” Alasannya sederhana. Dalam beberapa literatur perkulaihan atau bacaan mahasiswa IAIN, ia menemukan pengkotak-kotakkan kosakata seperti sastra sufi-sastra sekuler, negara Islam-negara sekuler, hingga sinetron islami-sinetron tak islami. Meski saya sadar kebenaran soal ini juga bisa diragukan.
Pengalaman saya mengunjungi tempat-tempat yang disebut sebagai wisata religius, memang terlihat antusiasme turis yang tinggi. Lihat misalnya Candi Borobudur yang merupakan situs agama Budha, namun bukan berarti yang melancong ke obyek itu adalah dari kalangan agama Budha. Hal serupa juga terlihat pada Kelenteng Sam Po Kong yang masih dipergunakan sebagai tempat peribadatan Tri Dharma serta masyarakat Kejawen. Orang-orang yang bersembahnyang di altar merupakan tontonan yang menarik bagi pengunjung. Oleh karenanya mereka pun tak segan-segan mengabadikan momen itu sebagai ”pertunjukan” yang memikat.
Minat untuk memotret juga bisa dilihat pada Gereja Blenduk di Kawasan Kota Lama. Yang membedakan disini, orang memotret tak hanya pada keunikan desain bangunan tapi juga menjadikan gereja itu sebagai background foto pre-wedding.
Lalu bagaimana dengan Masjid Agung Jawa Tengah? Apakah hanya demikian juga, datang ke sana untuk mengagumi kemegahan bangunan masjid yang luasnya melebihi lapangan sepakbola dan dilanjutkan dengan sesi potret-memotret. Setelah itu pulang.
Tak terlalu masalah sebenarnya menjadikan tempat-tempat yang bersinggungan dengan simbol agama sebagai tujuan wisata. Toh, Bali berhasil membangun citra seribu pura beserta dengan segala aktivitas ritual didalamnya. Keberadaan turis tak mengganggu aktivitas sembahyang mereka. Atau lihat juga fenomena Pesantren Daarut Taauhid Gegerkalong Bandung yang kini telah disulap menjadi tujuan wisata baru. Dan Aa’ Gym sebagai tokohnya mampu menjadi ikon wisata religius ini. Jangan heran bila merchandise yang bergambar Aa Gym, mulai poster hingga foto olahan photoshop bersama keluarga Aa’ pun laku dijual.
Meski berlabel religius, pengunjung memang tak diharuskan memiliki pengalaman-pengalaman mistik setelah mengikuti wisata ini. Karena pada dasarnya tujuan mereka datang adalah untuk piknik. Jalan-jalan. Dan bersenang-senang. (Makanya jangan heran bila sutau saat anda berziarah ke makam wali, menyaksikan pengunjung yang bangga bial dipotret dengan latar makam wali).
Kalau disuruh memilih, jenis wisata apa yang cocok dikembangkan di Indonesia. Boleh deh memilih wisata maksiat atau wisata religius. Hidup adalah pilihan, apalagi kalau pilihan itu memang benar-benar ada dan dekat dengan keseharian kita.
Basi nggak sich bila saat ini kita masih menanyakan hal ini?

*)temukan juga tulisan ini di Majalah Mahasiswa FD IAIN Semarang ”MISSI”